Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a, ”Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Al-Baqarah:201)
Dalam pandangan Barat yang sekuler, hidup di dunia adalah segalanya. Mereka tak segan mengerahkan seluruh daya dan potensi yang ada untuk meraih kenikmatan hidup di dunia. Mereka berlomba-lomba membuat kehidupan di dunia ini menjadi lebih nyaman dan modern. Hingga negara-negara miskin dan berkembang yang dikenal dengan negara dunia ketiga menjadikan kemajuan atau ke-modern-an itu sebagai ukuran kebaikan hidup.
Indonesia pun tak ketinggalan. Banyak orang berlomba-lomba mencari kekayaan, sibuk bekerja siang dan malam demi meraih kenyamanan hidup modern itu. Mobil, rumah, perabot, alat komunikasi, pakaian, dan makanan. Mereka selalu berusaha mengikuti trend gaya hidup modern di Barat. Umumnya masyarakat pun menyebut orang-orang yang mampu hidup seperti itu dengan kalimat ini, “Enak ya, hidupnya....”
Apakah kebaikan hidup yang demikian itu yang Allah maksudkan untuk dituju manusia, sebagaimana do’a yang tersebut dalam QS Al Baqarah : 201 di atas?
Dalam Al-Qur’an Allah SWT menggambarkan baiknya hidup di dunia sebagai berikut:
1. Kehidupan Yang Berkah
Islam memandang kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh berkah dari Allah SWT. Berkah itu berarti mencukupi. Tidak kekurangan dan tidak pula berlebih-lebihan. Sesuatu yang sedikit bila diberi berkah akan berkembang menjadi banyak sehingga mencukupi. Dan bila keberkahan ada pada sesuatu yang banyak maka sesuatu itu akan mendatangkan manfaat lebih banyak lagi.
Dalam surat Al-A’raf ayat 96, Allah SWT mengajarkan manusia untuk mencapai keberkahan hidup itu dengan beriman dan bertaqwa hanya kepada-Nya. ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) itu maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
2. Kehidupan Dalam Naungan Hidayah
Lebih jauh lagi, Islam memandang kehidupan yang baik adalah kehidupan yang sesuai petunjuk (hidayah). Ketika Allah memerintahkan Adam dan Hawa turun dari surga, Dia telah memperingatkan manusia tentang petunjuk hidup tersebut, ”Allah berfirman, ”Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan susah” (Q.S. Thaha:123). Maka orang yang mengikuti petunjuk Allah, yaitu Qur’an dan Rasul-Nya, Allah jamin hidupnya akan baik dan bahagia karena tidak tersesat dan tidak susah. Ini adalah janji Allah. Janji Allah pasti benar dan pasti ditepati.
Tetapi mengapa tidak sedikit orang beriman yang hidup dalam kemiskinan? Dan sebaliknya mengapa banyak orang yang jauh dari tuntunan agama tetapi hidup bergelimang harta, bahkan berkedudukan tinggi di masyarakat?
Demikian itu disebabkan pandangan kebanyakan manusia yang mengikuti hawa nafsu saja, sebagaimana pandangan orang-orang yang menolak (kafir). Mereka menjadikan tercukupinya kebutuhan akan materi dan berbangga-bangga sebagai ukuran kebahagiaan dan kebaikan hidup di dunia. Syetan menghiaskan pada mereka pandangan itu hingga mereka menganggap itulah kebaikan. Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat An-Nahl ayat 63, ”Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi syetan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syetan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.”
Kebaikan Hidup di Dunia
Padahal hakikat kebaikan hidup di dunia sejatinya sangat luas. Sebab manusia tidak melulu memperoleh kebaikan hidup berupa harta benda.
Kebaikan-kebaikan hidup di dunia itu Allah anugerahkan melalui:
1. Al-’Afiyat, yaitu kesehatan jasmani dan ruhani.
2. Al-Kafaf, yaitu rasa cukup terhadap setiap pemberian/rezeki dari Allah SWT
3. Al-aulad / al-abror, yaitu anak-anak yang baik dan berbakti
4. Al-mar’a ash-shalihah, yaitu pasangan hidup yang shalih/shalihah yang akan membuat keluarga menjadi sakinah (tenang)
5. Al-maal ash-shaalih atau harta yang shalih, yaitu harta yang dimanfaatkan untuk kebaikan dan kebenaran. Bukan harta yang menjerumuskan kepada maksiat.
6. Al-‘ilmu al-ma’rifah yaitu ilmu pengetahuan yang baik dan bermanfaat bagi umat
7. At-Tho’at wal ’ibadah, yaitu keta’atan dan kemampuan beribadah kepada Allah SWT.
Itulah bentuk kebaikan hidup yang diterima oleh orang-orang beriman di dunia ini. Bukankah tak jarang kita dapati seorang yang kurang mampu secara ekonomi tetapi dikaruniai putra/putri yang pandai dan berbakti pada orang tuanya? Dan bukankah masih ada guru yang setia memberikan ilmunya di sekolah-sekolah ”pelosok” meski gajinya sangat tidak memadai?
Kehidupan Yang Sempit di Dunia
Sebaliknya, kita juga sering menyaksikan betapa ”kisruh”nya kehidupan orang-orang yang kaya atau berpangkat. Contoh: kehidupan rumah tangga para artis yang jauh dari ketenangan, atau cucu presiden yang terjerat kasus narkoba, atau bupati yang ketahuan korupsi hingga harus mendekam di penjara, sampai pejabat negara atau wakil rakyat yang berzina. Mereka adalah orang-orang yang tercukupi kebutuhan materinya tetapi tidak dikaruniai kebaikan hidup di dunia, mereka melupakan peringatan Allah sehingga kekayaannya tidak berkah. Maka ketika sampai pada puncak kesenangannya Alah mengambilnya seketika bahkan sampai ke akar-akarnya. Allah berfirman ”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”(QS Al An’am: 44).
Kondisi yang lebih menyedihkan adalah orang-orang yang diberi ujian kemiskinan di dunia oleh Allah SWT dan mereka dalam keadaan tidak beriman. Penghidupan mereka sudah sempit dan mereka pun tidak mau menerima kesempitan itu disebabkan mereka tidak beriman. Allah menggambarkan keadaan mereka itu sebagai sebagai berikut, ”Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Q.S. Thaha:124)
Kesempatan Memilih
Maka Allah memberi kesempatan kepada setiap manusia untuk memilih model kehidupan yang diinginkannya, berikut konsekuensinya. Allah berfirman dalam Qur’an surat Al-Israa’ ayat 18-19, ”Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi) maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki dan Kami tetapkan baginya Neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan terhina dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.”
Beruntunglah orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh menjalani kehidupan sesuai syari’at Islam dan memilih akhirat sebagai tujuan hidupnya. Rasulullah SAW bersabda, ”Keberuntungan bagi orang yang diberi petunjuk kepada Islam sedang hidupnya dengan rezeki yang sekedar mencukupi kebutuhannya dan dia puas terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. At-Tirmidzy, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim). Dan sungguh merugi orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan menjadikan kenikmatan hidup di dunia ini sebagai tujuan. Mereka hanya akan mendapatkan sebagian kebaikan dunia dan itupun kehidupan yang sempit.
Kebahagiaan bukan diukur oleh kuantitas tetapi kualitas. Kaya dan miskin adalah kehendak Allah SWT. Penilaian Allah adalah pada kesungguhan ikhtiar yang kita lakukan. Kesungguhan ketika meninggalkan maksiat dan kesungguhan ketika menjalani ibadah akan menentukan tingkat kebahagiaan yang kita peroleh di dunia dan di akhirat.
Pembaca yang dirahmati Allah SWT, mudah-mudahan kita termasuk orang yang senantiasa berusaha mengarahkan kehidupan di dunia ini untuk kebahagiaan hidup di akhirat dan tidak silau oleh gemerlapnya dunia. Dan tetaplah istiqomah di jalan kebenaran yaitu Dinul Islam, sambil tak putus-putus berdo’a:
”Rabbanaa ’aatinaa fid-dunya hasanah wa fil aakhirati hasanah waqinaa ’adzaabannar”. Wallahua’lamubishshowab.(Riz )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar